Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fitrinugraheni

"Mertuanya aja belum mau ngelakuin salat, kok mau ngajakin orang lain belajar Islam, Mbak!" Bu Sarmi berkomentar dengan nada ketus, saat mendengar Hani sedang mengobrol dengan Eli, anak Bu Sarmi. 

"Astaghfirullah, jangan seperti itu, Ibu," Eli merasa tak enak hati dengan Hani, karena komentar ibunya. 

"Iya, Bu. Mohon doanya, semoga ibu dan bapak mertua saya segera dibukakan hatinya oleh Allah. Insyaallah saya juga berusaha untuk selalu mengingatkan." 

"Maafin ibuk saya, ya, mbak Hani," ujar Eli yang masih merasa bersalah karena celetukan ibunya. 

"Tak apa, Dek. Saya sekalian pamit, ya. Kabarin saya lewat WA jika kamu jadi ikut kajian bareng saya, ya, Dek," Hani mengembangkan senyumnya dan berpamitan ke Eli dan Bu Sarmi.

Hani pulang ke rumahnya dengan hati berkecamuk, apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Kegigihannya mendakwahkan Islam di tengah-tengah masyarakat sekitar tempat tinggalnya, berbanding terbalik dengan kondisi di rumahnya. 

Hani memang masih tinggal bersama dengan mertuanya, di rumah mereka. Bukan karena suaminya tak mampu membayar uang kontrakan, namun, karena memang mertua Hani ingin ia dan suaminya tinggal bersama mereka. Untuk menemani ibuk mertuanya, yang terkadang sendiri di rumah, jika bapak mertuanya sedang kerja ke luar kota. 

Satu ujian besar yang dihadapi Hani dan suaminya, yaitu mengajak kedua mertuanya ke jalan takwa. Keduanya masih enggan beribadah sepenuhnya kepada Allah Swt. Meski sudah berulang kali Hani menyampaikan dengan baik-baik, terkait konsekuensi keimanan seorang muslim, yakni terikat dengan aturan Allah Swt, tetapi hidayah itu belum kunjung menyapa mereka. 

Maka benarlah bahwa ujian terbesar seorang hamba itu biasanya datang dari orang terdekat. Meski begitu, Hani tak lelah mendoakan kedua mertuanya. Sebagaimana ia berharap akan bersama dengan orangtua kandungnya hingga ke surgaNya kelak, maka seperti itu pula harapannya kepada mertuanya. 

"Dari rumah Bu Sarmi, kamu Han?" Ibu mertua Hani datang menyapa, membuyarkan lamunan Hani.

"Iya, Bu'," singkat Hani menjawab.

"Kamu enggak usah ngajak-ngajak anaknya ikut mengaji kayak kamu, Han. Bu Sarmi itu orangnya comel, suka kebanyakan komentar. Ibuk enggak pengen kamu diomongin macam-macam di lingkungan sini, dan juga dia itu orangnya ...." 

"Astaghfirullah, Bu'. Mohon maaf, kita tak perlu panjang lebar membicarakan orang lain. Khawatir ghibah. Lagipula bagi saya, insyaallah komentar manusia tidak akan berpengaruh apa-apa. Terima kasih sekali karena Ibuk sudah begitu peduli dengan saya. Saya ijin mau jemput anak-anak ke sekolah, Bu'." 

Hani tersenyum dan berlalu setelah mencium takdzim tangan ibu mertuanya. 

Sudah lebih dari lima tahun Hani tinggal bersama mertuanya. Dan selama itu pula ia berusaha menyampaikan kebenaran Islam kepada kedua mertuanya. Berbagai cara telah ia lakukan, dari berdialog langsung setiap ada kesempatan, sampai dengan cara sindiran halus, saat Hani bercengkerama bersama dua anaknya, yang sengaja ia lakukan di depan mertuanya. Berharap mertuanya akan terbuka hatinya. Namun, apa mau dikata, Allah Swt yang lebih berkuasa membolak-balik hati manusia. 

Sampai suatu ketika, di pagi yang cerah. Tatkala sinar mentari menyapa hangat, ibu mertuanya yang beberapa bulan belakangan sedang kurang sehat, karena terkena gejala penyakit tremor, mengajak Hani berbincang di teras depan rumah. 

"Han, tentang pengobatan alternatif yang kamu sarankan kemarin, ibuk sudah mengobrol dengan bapak, kata bapak bolehlah itu dicoba. Siapa tahu jodoh, dan bisa sembuh." 

"Ya, Bu'. Nanti saya sampaikan ke teman saya. Mohon maaf, sejujurnya, Bu', ada hal yang mengganjal dalam hati saya terkait sakit ibuk." 

"Ibuk sama bapak juga sebenarnya kepikiran kalo sakit ibuk ini kayak enggak wajar, apa ada yang sengaja ngirim penyakit ini ke ibuk, ya, Han." 

"Astaghfirullah, bukan itu, Bu'." 

"Lhaa, trus, mengganjal gimana maksud kamu?" 

"Maksud saya, kita kan sudah mencoba berbagai ikhtiar pengobatan, Bu'. Tetapi qadarullah belum berhasil juga. Mungkin karena kita lupa belum melakukan ikhtiar langit, Bu'. Maksud saya, sesungguhnya Allah Yang Maha berkuasa menyembuhkan, jadi kita memang harus berdoa sepenuh hati meminta kesembuhan ke Allah." 

"Lhoo, ibuk juga berdoa kok, Han. Setiap mau minum obat, atau mau pergi terapi, semoga jadi jalan kesembuhan begitu." 

"Iya, Bu'. Tapi Allah akan lebih suka jika kita, hamba-hamba ciptaanNya, merintih dalam doa usai kita menghadap melalui salat kita. Coba bayangkan saja misal saya sebagai anak ibuk, minta ini itu sama ibuk dan bapak, tapi setiap kali diperintah sama ibuk, sama sekali enggak pernah saya lakukan. Kira-kira ibuk gimana?" 

"Ya, kesel, Han. Lama-lama ya malas mau ngasih apa yang kamu minta." 

"Naah, itu maksud saya. Meskipun, kita tidak boleh beribadah 'hanya' karena mengharap kesembuhan atas sakit kita, tetapi sepatutnya hanya kepada Allah kita meminta kesembuhan." 

"Hemm ...." 

Hampir selalu begitu respon ibu mertua Hani, jika diajak diskusi terkait kewajiban salat dan yang lainnya. Namun, Hani bertekad tak akan lelah mengajak dan mengingatkan, sampai Allah menurunkan keputusanNya. 
_____

Setahun berselang setelah ibu mertua Hani diuji dengan sakit berkepanjangan. Lantunan azan Maghrib berkumandang merdu dari mushala terdekat, suami Hani dan dua anak laki-laki mereka sedang bersiap hendak ke masjid. Sedangkan Hani dan putri bungsunya bersiap salat di rumah, saat tiba-tiba sebuah kejutan datang.

"Han, ajarin ibu wudu dan salat," ucapan ibu mertuanya bagaikan hujan yang turun dari langit di tengah kemarau panjang. Hani dan suaminya segera sujud syukur, lalu mendekap ibunya bersama. 

"Alhamdulillah, Yaa Allah, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?" 

Genangan airmata tak terbendung mengalir deras dari mata Hani, tak henti-hentinya ia berucap hamdalah penuh kesyukuran, sembari mendekap erat ibu mertuanya.

"Bismillah, kita sama-sama berjalan menuju surgaNya, ya, Bu'. Saya, Mas Alif, juga cucu-cucu ibu, ingin selalu bersama-sama dengan ibu dan bapak hingga ke surgaNya." 

"Aamiin, iya, Han. Makasih, ya, Han karena tak pernah lelah mengingatkan Ibuk."

"Insyaallah, Bu'. Hani sayang sama ibu dan bapak karena Allah." 

Cilacap, 5 Desember 2022

Baca juga:

0 Comments: