
Oleh: Desi
Kini mata Bening menyipit, bulir-bulir itu seakan enggan berhenti mengalir dari matanya. Kali ini terasa berbeda, sebuah kerinduan tak biasa menyapa kalbu. Begitu menyiksa memaksa bersua.
Apa daya harap jumpa tak mungkin terlaksana sampai kapan jua. Kecuali jika dirinya pun telah berada di alam baka. Pikirnya melayang, penyesalan memuncak sebab maaf belum sempat terucap.
"Ayah, aku rindu. Maafin Bening, Yah," lirih suara Bening hampir tak terdengar sebab kalah bersaing dengan isak tangis yang dominan.
Bening, gadis 14 tahun itu menghempaskan tubuh mungilnya ke kasur tanpa ranjang. Menatap langit-langit yang dipenuhi bintang _glow in the dark_. Tangannya meraih guling bernuansa _pink rose_ kemudian dipeluknya erat.
Andai saja dia tidak berontak dan menerima keputusan ayahnya, mungkin dia tidak akan tersiksa rindu seperti ini. Namun jika itu dilakukannya dulu, akankah kebencian itu juga sirna?.
Dua tahun lalu, saat Bening duduk di kelas 6 SD, Ayah yang sangat dicintainya meminta izin menikah lagi. Kabar itu bagai badai menghantam hatinya. Hancur terserak, remuk tanpa bentuk. Mustahil serpihannya mampu dipungut direkatkan kembali.
Tahu apa anak SD 12 tahun tentang poligami. Tak pernah ada maklumat, mana mungkin bisa sepakat. Tontonan telah mengajarkannya bahwa ibu tiri adalah manusia terjahat di dunia ini.
Yang dia tahu ketulusan cinta ayahnya akan terbagi. Sosok baru itu pasti akan mengambil idola tercintanya. Kalau mereka menikah pasti ayahnya akan tinggal di rumah istri barunya itu. Dan dia harus siap merana kesepian.
Segala bayangan negatif itu menyelimuti pikiran Bening. Tapi anehnya, mengapa justru ibunya mendukung dan menyambut wanita itu dengan ramah. Apa ibu tidak keberatan? sebuah pertanyaan yang masih menjadi teka-teki bagi Bening, meski dua tahun telah berlalu.
Rumah Bude Darsih menjadi tempat pelariannya. Sebagai bentuk protes kepada ayahnya. Permohonan ayahnya tak disambutnya pulang ke rumah. Justru usir yang terlontar dari lisan Bening.
Hingga sebuah suara keras memekakkan telinga Bening. Terdengar seperti pohon besar tumbang. Bening yang berada di lantai dua segera berlari menyusuri anak tangga.
Sebuah truk pengangkut kayu jati gelondongan terbalik karena kelebihan muatan. Sekejap saja kejadian itu telah berhasil mengumpulkan warga sekampung yang penasaran.
Hati Bening berguncang hebat kala kakinya kian mendekat. Sebuah motor yang amat dikenalinya rebahan di badan jalan. Matanya terbelalak dengan tangan yang berusaha menutupi mulutnya, netranya mulai berkaca-kaca ketika menangkap pemandangan yang mengerikan.
Itu baju yang dikenakan orang yang tadi dia usir. Kini orang itu sedang sekarat di antara tumpukan kayu gelondongan. Ya, itu adalah tubuh ayahnya, orang yang tangannya sempat ia hempaskan ketika hendak membelai rambutnya.
Tangisnya pecah tak terkendali. Laksana atlit ia berlari, menghampiri tubuh yang tak bergerak lagi. Andai waktu bisa diputar kembali. Andai Bening tahu hal ini akan terjadi, pasti dia akan mengalahkan ego tertingginya.
"Neng, kamu sudah salat Isya belum?" sebuah suara membuyarkan lamunannya.
"Sudah, Bu," jawab Bening setelah spontan meneguk air minum agar sensasi aneh di tenggorokannya hilang.
"Keluar, Neng. Yuk kita makan dulu," rayu ibunya yang selalu memanggil neng sebagai panggilan kesayangan.
Bening tidak tahu bagaimana caranya sembunyi dari muka yang habis nangis. Jika memaksanya keluar, pasti ibunya akan khawatir.
"Masih kenyang, Bu. Tadi makan roti," jawab Bening sekenanya.
"Ibu masuk, ya," sebuah ucapan yang mengagetkan Bening. Ia pikir ibunya telah pergi tetapi datang lagi dengan membawa sepiring nasi beserta lauk pauknya.
Wajah sembab Bening sudah tidak bisa disembunyikan lagi.
"Ibu suapin, ya. Pasti kamu laper kan," rayu ibunya.
Sodoran sendok yang mendarat di bibirnya tak mungkin ia tolak. Perutnya tak kuasa berbohong jika ia keroncongan.
Di tengah suapan, ibunya berkata, "Ibu tau kamu kangen sama ayah tapi jangan suka menyiksa diri dengan gak makan, ya!"
"Ibu bukan orang pinter tapi Ibu tau setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kita harus siap ditinggal orang-orang terdekat. Kamu juga harus siap jika ibu mendahuluimu," sejenak ucapan ibunya terhenti, tangannya nampak cekatan memindahkan makanan dari piring ke mulut Bening.
"Ibu juga harus siap jika kamu yang mendahului Ibu," seketika Bening mengangkat kepalanya mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya.
"Tidak ada jaminan yang tua duluan mati. Bisa jadi yang muda lebih dulu pergi," lanjut ibunya.
"Jadi mencari bekal akhirat juga harus dipikirkan oleh anak muda. Kamu harus serius kalo beribadah," ucap ibunya mewanti-wanti.
"Tidurnya mau ibu temenin?" sebuah tawaran yang membahagiakan bagi Bening. Sudah lama sekali tidak tidur sekamar dengan Ibu.
"Mau banget, Bu," jawab Bening dengan senyum mengembang.
Bersambung...
Baca juga:

0 Comments: