
(Benturan Cita-Cita dan Konflik Keluarga)
Oleh : Ratih Fn
"Assalamu'alaikum, Dek Rasti," sapaan salam penuh kelembutan dari kak Hasna, membuyarkan lamunan Rasti, tentang saran tantenya untuk memblokir nomor teman-teman lamanya di dunia maya, bilamana setelah disampaikan baik-baik, mereka masih saja mengganggunya.
"Eh, Kak, wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," Rasti menjawab salam kakak kelasnya yang selalu mensupportnya untuk berubah lebih baik. Kak Hasna sejak tadi sudah mengamati Rasti dari kejauhan, mata hatinya menangkap sinyal kegalauan dari wajah ayu Rasti.
"Kamu kenapa? Dari tadi Kakak perhatikan melamun sendirian di pojokan teras mushala. Hati-hati lhoo, kata orang-orang, pohon mangga depan mushala ini banyak penghuninya. Salah-salah ada yang masuk ke tubuh kamu tanpa kamu sadari, saking khusyuknya kamu melamun." "Hiiiih, Kak Hasna mah. Apa iya lah? Siang bolong gini nakut-nakutin aja. Lagian mana ada hantu keluar siang-siang Kak." Agak merinding juga Rasti mendengar peringatan kak Hasna.
"Lhooo..?! Siapa bilang penghuninya hantu? Semut merah maksudku, Dek." Kak Rasti menjawab sembari menyembunyikan senyum manis dibalik jemari-jemari lentiknya. "Yaa Allah, Kak. Kirain... Aduuuh, innalillahi... Apa ini? Sakit banget!" Tiba-tiba Rasti merasa ada sesuatu yang menggigit lengannya. Segera ia masuk ke mushala untuk memastikan hewan apa yang menggigit tadi. Dan benar, ternyata seekor semut merah telah berhasil menancapkan gigi tajamnya tepat di siku lengan kanan Rasti.
Selepas drama semut merah tadi, Rasti memutuskan untuk menceritakan masalah dia dengan teman-teman dunia mayanya ke kak Hasna. Meski tantenya sudah memberikan saran, rasanya hatinya masih berat.
Lega rasa hati Rasti, seusai curhat dengan kak Hasna. Tak disangka, kak Hasna memberikan saran yang sama dengan tantenya. Juga menambahkan tips, bahwa ada baiknya Rasti menambah kesibukan untuk menghindari gabut di rumah. Mungkin dengan mengikuti ekskul tambahan, atau ikut komunitas positif semacam ODOJ.
Kak Hasna juga memberikan wejangan, agar Rasti tetap istikamah bergaul bersama teman-teman yang shalihah. Dan juga tetap mengikuti kajian remaja muslimah, karena _circle_ yang positif akan membuat kita tetap terjaga dalam keimanan. Nanti, dengan sendirinya teman-teman dunia maya Rasti akan menjauh, karena mereka merasa Rasti sudah tak lagi sefrekuensi.
Semenjak Rasti aktif di rohis sekolah, ia memang jadi akrab dengan kak Hasna. Sebenarnya dengan kakak-kakak rohis lainnya juga akrab, namun tak sedekat dengan kak Hasna. Mushala juga kini menjadi tempat favorit Rasti untuk menghabiskan waktu istirahatnya.
Selain ia sudah nyaman berkumpul dengan sahabat-sahabat sefrekuensi, mushala di sekolahnya memiliki perpustakaan khusus literasi Islam, yang lumayan lengkap koleksi bukunya. Jadi ia bisa meminjam buku-buku yang keren di sana.
Waktu berlalu, tak terasa Rasti sudah hampir lulus SMU. Keluarga Rasti ingin ia melanjutkan magang kuliah di salah satu bank terkemuka di ibukota. Menurut info dari saudaranya yang sudah kerja di sana, setelah magang kuliah, otomatis langsung diterima menjadi karyawan tetap.
Galau rasa hati Rasti, bagaimana tidak? Selama rutin mengikuti kajian, ia jadi mengetahui bahwa riba itu haram. Dan ada empat pihak yang turut bersekutu dalam dosanya. "Yaa Allah, jauhkan aku dari dosa riba," hati Rasti menjerit tak berdaya. Satu sisi ia takut dosa, di sisi lain ia tak ingin menyakiti hati keluarga. Disamping itu, Rasti bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Menurutnya, dengan menjadi guru, ia akan memiliki lebih banyak kesempatan menyampaikan ide-ide Islam, terutama kepada anak muridnya.
Setelah negosiasi yang cukup pelik, Rasti tak jua menemukan titik terang. Akhirnya dengan berat hati Rasti mengalah, mengiyakan tawaran saudaranya. Rasti berangkat ke Jakarta, dan tinggal di rumah saudaranya. Beberapa bulan berjalan, tak kuasa lagi Rasti menahan rasa. Ia memutuskan berhenti dari magang kuliah di bank swasta, lalu mencari pekerjaan lain.
Tekadnya sudah bulat, ia sampaikan baik-baik dengan keluarga. Meski orangtuanya kecewa, namun mereka tak kuasa menahan Rasti. Apalagi sekarang mereka tinggal berjauhan kota. Neneknya bahkan sampai turut berkomentar pedas, "Sudah dikasih jalan enak, biar bisa jadi karyawan tetap, punya masa depan yang jelas, mapan, malahan membelot. Terpengaruh siapa kamu ini, Ras? Om dan Tante kamu ya? Lihat itu Om kamu, sampai sekarang belum punya pekerjaan yang cukup mapan, karena dulu juga menolak bekerja di bank. Sampai sekarang, masalah finansialnya masih banyak dibantu orangtua."
Dalam hati Rasti beristighfar, tak ingin menjawab kata-kata neneknya. Ia tak mau berbicara saat hati sedang emosi, khawatir setan menunggangi, dan keluar ucapan yang menyakiti hati.
Bersambung...
Baca juga:

0 Comments: