Headlines
Loading...
Kemerdekaan di Tengah Impitan Utang

Kemerdekaan di Tengah Impitan Utang

Oleh. Dra. Rahma
(Praktisi Pendidikan)

SSCQMedia.Com — Bulan Agustus tahun ini Indonesia memasuki usia kemerdekaannya yang ke-80. Tentu saja, selain bersyukur, kita juga harus menyisipkan rasa prihatin di tengah perayaan tersebut. Sebab, meski kemerdekaan secara fisik telah diraih sejak 80 tahun lalu, berbagai kesengsaraan masih terus mengimpit negeri ini.

Impitan itu datang dari berbagai sisi. Mulai dari jeratan utang yang kian menggunung, tingginya angka kemiskinan, hingga gelombang PHK yang terus membesar. Ditambah lagi dengan beban tarif perdagangan global yang semakin mencekik rakyat.

Utang yang Menggunung

Untang menggunung, apa penyebabnya?Pertama, Indonesia secara de facto terbelit utang yang terus naik dari tahun ke tahun.

Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Mei 2025 mencapai USD 435,59 miliar atau setara dengan Rp7.078,34 triliun (kurs USD 1 = Rp16.250). Rincian utang tersebut terdiri atas pinjaman pemerintah dan bank sentral sebesar USD 239,17 miliar serta swasta sebesar USD 196,42 miliar.

Jumlah itu tumbuh 6,80 persen year on year (yoy). Bahkan, menurut analisis Bisnis.com, 8 Agustus 2025, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) diprediksi bisa menembus Rp9.682 triliun pada akhir tahun 2025, tumbuh 8,67 persen yoy. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5 persen atau sekitar Rp23.245,9 triliun, proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6 persen. Mirisnya, ini akan menjadi  yang tertinggi selama sembilan tahun terakhir.

Kedua, dari sisi bunga utang, pemerintah telah menghabiskan Rp257,08 triliun sepanjang Januari–Juni 2025 untuk membayar bunga (CNBC Indonesia, 4 Juli 2025). Hingga akhir tahun, pembayaran bunga utang diperkirakan mencapai Rp552,1 triliun atau hampir 16 persen dari outlook belanja negara.

Realisasi pembayaran bunga ini naik 7,13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pembayaran tersebut terdiri dari kupon Surat Berharga Negara (SBN), bunga atas pinjaman, dan biaya-biaya lain dari program pengelolaan utang. Inilah realitas mengerikan jeratan utang ribawi: bunganya saja sudah mengambil 16 persen dari APBN.

Ketiga, keterjeratan pada utang merupakan konsekuensi kebijakan pemerintah sendiri. Sebagian besar utang dipakai untuk membiayai proyek pembangunan. Padahal, pembiayaan berbasis utang hanya akan menambah masalah.

Semakin besar utang, semakin besar pula porsi anggaran negara yang tersedot untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, subsidi untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial semakin berkurang. Jika rasio utang terhadap PDB tinggi, pembayaran bunga akan memakan porsi besar APBN, sekaligus membebani generasi mendatang.

Keempat, tingginya tingkat kemiskinan dan gelombang PHK makin memperdalam keprihatinan. Bank Dunia dalam laporan “Poverty and Inequality Platform” edisi Juni 2025 menyebutkan, 68,2 persen atau 194,4 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua dunia dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, hanya satu tingkat di bawah Zimbabwe (84,2 persen).

Sementara itu, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sepanjang Januari–Juni 2025 terdapat 42.385 pekerja yang terkena PHK, naik 32,19 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (32.064 orang). Tingginya angka kemiskinan dan PHK ini menjadi gambaran nyata memburuknya kondisi ekonomi. Tidak heran jika netizen ramai-ramai melambungkan tagar #IndonesiaGelap dan #IndonesiaCemas sebagai sindiran terhadap slogan pemerintah “Indonesia Emas”.

Neo-Imperialisme dan Akar Masalah

Perlu dicatat, pemikiran Neo-Imperialisme telah menjadi dasar kebijakan ekonomi negeri ini. Kebijakan yang pro pasar dan pro kapitalis tersebut justru semakin menjerat Indonesia dalam ketergantungan utang. Utang hanya memperkuat negara pemberi pinjaman, sementara negara pengutang semakin terikat dan terjajah.

Di belahan dunia mana pun, Neo-Imperialisme berbasis liberalisme tidak pernah menghasilkan apa pun selain keterjeratan dan kesengsaraan rakyat.

Jalan Kemerdekaan Hakiki

Maka, jika kita benar-benar menginginkan kemerdekaan hakiki sekaligus kehidupan penuh kebaikan, keadilan, dan keberkahan, tidak ada jalan lain selain kembali kepada aturan Allah secara total.

Inilah jalan yang telah ditempuh para sahabat, tabi’in, dan ulama pejuang Islam, yang membawa umat dari kegelapan menuju cahaya. Tugas umat saat ini adalah menyempurnakan kemerdekaan dengan penerapan sistem Islam secara kaffah.

Wallahualam bissawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: