Oleh. Lifa Witd
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Tok... tok... tok!
“Murni, Mur... bukain pintunya, Mur. Tolongin Mak!”
Terdengar suara orang mengetuk-ngetuk pintu sambil berteriak panik. Saking paniknya, sampai-sampai lupa mengucap salam.
Si empunya rumah yang dipanggil Murni pun membuka pintu dengan daster lusuhnya.
“Iya, Mak Tun. Ada apa teriak-teriak? Murni lagi masak ini,” sahut Murni sambil membukakan pintu untuk orang yang dipanggilnya Mak Tun.
“Ini, Mur. Mak mau minta tolong. Bisa kamu telepon Roni? Mak dengar berita ada kericuhan di tengah kota, tempat orang pada berdemo. Perasaan Mak tidak tenang, tadi dia nekat narik ojol.” Begitulah Mak Tun menyampaikan tujuannya datang ke rumah Murni.
“Baik, Mak. Tunggu ya, Murni ambil handphone dulu di kamar,” jawab Murni sambil berlari ke kamarnya.
Tak berselang lama, Murni pun mencoba menghubungi nomor handphone milik Roni, anak Mak Tun.
Tut... tut... tut!
[Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan]
Terdengar suara operator di seberang sana, pertanda handphone Roni tidak bisa menerima panggilan.
Mak Tun terlihat semakin panik. Begitu juga dengan Murni.
“Mur, bagaimana ini? Kenapa Roni tidak angkat teleponnya, ya?” gumam Mak Tun lirih. Air mata mulai mengalir di pipinya yang berkeriput.
“Mak, tenang dulu. Mungkin Roni lagi narik. Makanya tidak bisa angkat teleponnya,” Murni berusaha menenangkan.
Mak Tun dan Murni adalah sesama perantau di kota besar itu. Mereka berasal dari daerah yang sama, hanya beda desa. Begitulah perantau, ketika bertemu dengan yang sekampung, rasanya seperti saudara. Bahkan, lebih dari saudara kandung. Maka, tidak heran mereka hidup seperti ibu dan anak.
Suami Murni, Mas Tono, dan Roni, anak Mak Tun, sama-sama berprofesi sebagai ojek online (ojol). Dulu, mereka bekerja di sebuah pabrik kain. Namun, karena kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang kacau, akhirnya mereka menjadi korban pengurangan pegawai.
Hidup pun serba sulit, terpaksa tinggal di rumah petak berukuran 3x6 meter yang pengap. Matahari tidak bisa menerobos masuk karena rumah-rumah sudah terlalu sesak.
Murni dan Mas Tono sudah menikah tiga tahun, tetapi belum dikaruniai anak. Sementara Mak Tun adalah seorang janda berusia 65 tahun dengan satu anak. Suaminya telah meninggal lima tahun lalu. Akhirnya, Roni menjadi tulang punggung keluarga.
Sore itu matahari condong ke barat. Langit di kota besar mulai menyambut dengan warna kemerahan, pertanda malam segera tiba. Suasana yang seharusnya indah terasa suram bagi mereka.
Dua wanita beda usia itu tampak di sebuah ruangan kecil nan pengap. Mereka berulang kali mencoba menghubungi seseorang yang entah di mana.
“Mak, bagaimana kalau saya dan Mas Tono pergi ke sana mencari Roni di tempat orang berdemo? Siapa tahu dia ikut-ikutan demo,” tawar Murni.
“Mas Tono, ayo siap-siap, kita cari Roni!” perintah Murni pada suaminya.
“Ayo, Dik. Kita berangkat sekarang.”
Tidak lama, Mas Tono muncul dari kamar dengan berpakaian rapi. Dari tadi ia mendengarkan percakapan dua wanita itu.
Hari itu, kebetulan Mas Tono tidak narik ojol karena ingin istirahat.
“Sebentar, Dik. Aku mau mengabari kawan-kawan di grup ojol. Siapa tahu ada yang melihat Roni,” kata Mas Tono.
“Baik, Mas. Semoga saja ada yang melihat Roni,” jawab Murni dengan wajah panik. Ia berulang kali melihat handphone di tangannya. Namun nihil, Roni tak juga menghubungi.
Akhirnya, mereka berdua berangkat dengan motor. Tak lupa berpesan pada Mak Tun agar jika pulang ke rumahnya jangan lupa mengunci pintu.
Mereka sudah seperti saudara, jadi saling percaya. Mak Tun memandangi punggung pasangan muda itu yang mulai meliuk melewati gang sempit di kawasan padat. Hatinya gerimis sekaligus bersyukur, diberikan tetangga rasa anak oleh Allah.
Rezeki bukan hanya berupa uang, melainkan juga tetangga yang baik. Mak Tun tidak punya siapa-siapa lagi di kota besar itu, kecuali anaknya serta Murni dan Mas Tono yang sudah seperti anaknya sendiri.
Murni dan Mas Tono sudah mulai dekat dengan titik kumpul para pendemo. Kondisinya ramai dan di beberapa titik terjadi kericuhan.
“Mas, bagaimana ini? Kondisinya ricuh. Gimana kita bisa nyari si Roni? Apa kita ikut minggir saja? Banyak orang di pinggir jalan sana,” ujar Murni sambil menunjuk.
Tono mengangguk lalu segera menuju arah yang ditunjuk istrinya.
“Sudah, Mas. Kita berhenti di sini saja,” kata Murni.
“Oke. Aku parkirin motor dulu, Dik. Kamu tunggu di sini, ya,” jawab Tono, yang dibalas anggukan kecil Murni.
Langit kota semakin gelap. Sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang. Para pendemo semakin membludak, belum ada tanda-tanda akan bubar. Kondisi semakin memanas. Dari kejauhan tampak kepulan asap gas air mata.
Hati Murni menciut melihat kondisi itu. Suara teriakan dan yel-yel diserukan para pendemo. Mereka meneriakkan tuntutan kepada penguasa, namun belum ada tanggapan. Yang ada malah ricuh dan tembakan gas air mata.
Tidak lama, Tono kembali.
“Bagaimana ini, Dik? Di grup WhatsApp kawan-kawan ojol belum ada yang melihat Roni,” kata Tono.
“Duh, Mas. Berani nggak kita agak mendekat ke kerumunan massa itu?” tunjuk Murni.
“Ayuk, kita coba hati-hati lewat pinggir. Sepertinya lebih aman,” jawab Tono sambil menggandeng tangan istrinya.
Tiba-tiba dari arah belakang ada yang memanggil mereka.
“Mas Tono, Mbak Murni. Mau ikut demo juga?”
Ternyata itu Beni, pemuda yang kos di sebelah rumah Murni.
“Ah, enggak, Mas Ben. Kami lagi nyari Roni. Dari tadi ditelepon tidak dijawab. Saya tanya di grup kawan-kawan ojol juga belum ada yang melihat,” jawab Tono. Murni mengangguk.
“Oh, begitu. Ayo, Mas. Aku bantu sekalian. Takutnya dia ikut demo. Khawatir terjadi apa-apa, amit-amit,” kata Beni sambil bergidik.
Akhirnya mereka bertiga semakin mendekat ke arah kerumunan pendemo. Hati mereka miris melihat banyak pemuda terkena gas air mata. Mereka juga menyaksikan ada mahasiswa dipukuli oknum aparat. Padahal mahasiswa itu tidak anarkis, tidak membawa sajam, hanya ingin menyampaikan pendapat rakyat. Namun, entah mengapa, seolah-olah mereka adalah musuh aparat.
Tiba-tiba, di depan mereka ada kerumunan orang. Terlihat beberapa mengenakan jaket ojol berwarna hijau.
“Eh, siapa itu yang di aspal? Cepat kita periksa. Jangan-jangan Roni!” teriak Beni.
Badan Murni gemetar. Ia khawatir yang tergeletak itu adalah Roni. Ia sudah menganggap Roni seperti adiknya sendiri. Ia membayangkan bagaimana nasib Mak Tun kalau sampai terjadi sesuatu.
Dari kejauhan, ciri-cirinya mirip sekali dengan Roni: jaket hijau, sepatu putih butut, celana jeans biru. Wajahnya belum terlihat jelas.
“Mas, jangan-jangan itu Roni,” pekik Murni dengan kedua tangan menutupi mulutnya.
“Kita periksa dulu, Dik. Tapi ciri-cirinya memang mirip,” balas Tono.
Semakin dekat, semakin Murni yakin itu Roni. Ia menjerit memanggil-manggil.
“Roni... Roni! Kamu kenapa?” Murni menangis histeris sambil menggoyang tubuh yang bersimbah darah itu.
Namun, dari arah belakang ada tangan yang menyentuh pundaknya.
“Mbak Murni, kenapa menangis histeris?”
Ternyata itu suara Roni.
Roni ada di kerumunan itu. Alhamdulillah, kondisinya baik-baik saja.
“Ya Allah, Roni. Kamu ke mana saja? Kenapa tidak bisa ditelepon? Kamu nggak tahu, Mbak sama Mas Tono ke sini nyariin kamu. Mak Tun sangat khawatir!” Murni memberondong Roni dengan pertanyaan.
“Maaf, Mbak. Aku kehabisan baterai. Tadi pas orderan ke arah sini. Mau pulang, eh malah lihat kerumunan. Ternyata ada teman ojol yang dipukuli oknum aparat. Entah kenapa, padahal dia cuma narik ojol, bukan ikut demo,” jawab Roni panjang lebar.
“Ya sudah, Mbak. Sekarang Mbak sama Mas pulang dulu. Tolong kasih kabar ke Mak kalau aku baik-baik saja. Aku mau bantu urus teman ojol-ku. Kasihan, dia tulang punggung keluarga, anaknya dua masih kecil-kecil,” sambung Roni.
Hati Murni mencelos mendengarnya.
“Ya sudah, kalau begitu hati-hati, ya. Ini ada power bank, cepat isi ulang handphone-mu. Jangan lupa nanti kasih kabar,” pinta Murni.
“Siap, Mbak. Terima kasih. Bilang ke Mak kalau aku baik-baik saja,” balas Roni.
“Beres,” jawab Murni sambil mengacungkan jempol.
Alhamdulillah, Roni baik-baik saja. Semoga temannya juga segera dibawa ke rumah sakit dan ada pihak yang bertanggung jawab.
Bagaimana nasib keluarga abang ojol yang terluka parah itu?
Dan bagaimana nasib kami ke depan jika kondisi negeri ini tidak juga membaik?
Allah, hanya kepada-Mu aku meminta perlindungan untuk negeri ini.
Semoga negeriku lekas sembuh.
Doa Murni dalam hati, di waktu petang menjelang Magrib.
Tamat.
Baca juga:

0 Comments: