Headlines
Loading...
Oleh. Surya Dewi

Rembulan bersinar tenang malam ini, tapi hati Mak Mar sedang gundah gulana. Maklumlah janda beranak lima itu kini harus berjuang sendiri membesarkan putra putrinya. Suaminya menikah lagi dan ia tak sanggup hidup poligami sehingga ia memilih membesarkan anaknya sendiri.

Hidup di sebuah desa kecil yang tenang nyatanya tak seperti yang dipikirkannya. Pagi buta dia mengolah bahan makanan untuk dijadikan gorengan. Ada tahu brontak, tempe mendoan, jemblem parut, weci atau ote-ote, dan getas. Ia menyiapkan putra putrinya berangkat sekolah dan meninggalkan yang paling kecil bersama Neneknya.

Berjalan menyusuri ladang tempat para pekerja harian dari pagi hingga terik. Kadang ada yang ngutang, kadang ada yang kurang ajar, kadang ada yang berniat jahat. 

Mak Mar menghela napas, ia melihat kelima anaknya yang sedang terlelap. Diusapnya satu persatu sambil melantunkan lagu Tak Lilo Ledung. Ia bayangkan suatu hari putra putrinya menjadi anak yang saleh salihah. Dibayangkannya kelak ketiga putranya memakai seragam kerja dengan senyum menawan. Dan putrinya menjadi  Ibu dari anak-anak yang lucu. Eh tunggu putranya ada empat. Dia kembali pada kenyataan lagi tak lagi berangan-angan takut jatuhnya kesakitan. 

Disentuhnya kakinya yang mengeras karena seringnya dia berjalan menjajakan dagangan. Mak Mar meneteskan air matanya sambil mengeluhkan lelah payah yang dia rasakan.

"Duh Gusti... paringi kuat.... Mboten kepingin sambat, Gusti. Mugi sayah mergo lillah dadosaken putra putri ingkang saleh salihah, Gusti. Zaman susah kathah musibah kathah fitnah...," ucapnya sambil menangis.

Tak terasa air matanya mengenai kaki Bambang, anak ketiganya. 
"Mak, kenapa nangis? Mak kangen Bapak?"

"Nggak, Bang. Mak hanya capek," mengusap air matanya.

"Sini aku pijit, Mak. Jangan nangis lagi, Mak. Maafkan kami ya, Mak. Mak harus bekerja nyari duit sendiri demi kami karena kami memilih ikut Mak...," ujar Bambang sambil memijit Mak Mar.

"Tidak, Nak. Kalian itu penyemangat Mak. Belajar yang sungguh-sungguh biar nanti jadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara serta agama. Dari kalian nanti Mak akan bangga karena sudah jadi Mak dari kalian semua," terangnya sambil tersenyum.

Dilihatnya tagihan listrik yang besar, nota bekas belanjaan Mak yang berceceran. Bambang sepertinya mengerti bahwa harga bahan pokok sedang meroket. Sementara kebutuhannya bersama adiknya juga tinggi dan Mak berjuang sendiri.

"Mak, besok boleh gak Bambang bantu jual gorengan Mak?"
Mak Mar pun kaget.

"Lapo? Gak sekolah?"

"Sekolah, Mak. Tapi aku bawa juga gorengannya di sekolah nanti kalau tak habis biar kami bawa ke TPQ terdekat. Biar sama-sama jalan. Kan kebutuhan kita banyak Mak."

Ada rasa trenyuh dalam hati Mak Mar. Apakah anak berusia sepuluh tahun itu harus berdagang juga saat sekolah dan mengaji karena himpitan ekonomi? Sementara bapaknya masih ada dan tak kunjung memberikan haknya untuk anak-anaknya. Sementara negara kaya raya dijuluki zamrud khatulistiwa. 

"Mak seneng Bambang pengertian ke Mak. Mak seneng Bambang kepingin bantu Mak. Mak boleh tanya sama Bambang?"

"Boleh, Mak."

"Kamu tahu tujuan hidup kita gak? Kenapa Bambang diciptakan di dunia ini sama Allah?"
Bambang pun merenung. 

"Beribadah, Mak!"

"Betul. Ibadah, Bang. Sekarang antara bekerja dan menuntut ilmu bagi anak seumuranmu itu masuk kewajiban atau kemubahan?"

Bambang pun mengerti bahwa sebenarnya Mak ingin menolak permintaannya untuk membantunya berjualan.

"Tapi Mak bisa jualan di sekolah dan di sekitaran rumah saja Mak biar nanti aku ajak teman-teman dan anak-anak lain untuk beli. Mak jangan ke ladang lagi. Ya... Mak?"

Mak Mar pun tersenyum. Tanda setuju. Bambang pun riang. Sejak hari itu Mak Mar tak lagi keliling di ladang yang jauh tapi berkeliling di tempat anak-anak berkumpul saja. Ada kalanya ia bercerita agar anak-anak yang beli lebih mengenalnya hingga mereka akan mencari Mak Mar di kala mereka butuh jajan.

Kini Mak Mar tak risau fitnah karena dia janda beranak lima. Namun orang mengenalnya sebagai Mak ABG, Mak nya para anak baru gede. Wanita beranak banyak yang tak ikut melahirkan mereka. Bahkan dikala butuh teman curhat maupun solusi permasalahannya.

Hingga Mak Mar menyadari anak-anaknya sudah dewasa. Bambang yang suka perhatian dulu kini menjadi orang penting berseragam dinas pegawai negeri. Sementara dua putranya berseragam swasta. Putrinya menjadi Ibu dari ketiga cucunya. Sementara satu putranya menjadi menjadi ladang pahala kesabaran baginya. Anak lelaki baik yang menjadi kurang sehat jiwanya karena sering dituduh dan dipukuli warga akibat praduga tak bersalah.

Bukan salah Mak Mar yang tak mendidiknya dengan baik. Hanya memang untuk mendidik anak butuh kerjasama keluarga. Bukan seorang saja. Butuh lingkungan yang mendukung agar anak menjadi juara ulung. Meski begitu bukan salah Mak Mar mengandung. Jika akhirnya tak semua anaknya jadi orang berdaya. Bukan semata salahnya saja. Tetap semangat Mak Mar, dunia sementara. 

Tamat

Baca juga:

0 Comments: