Headlines
Loading...
Raja Ampat: Hilirisasi Nikel vs. Kerusakan Lingkungan

Raja Ampat: Hilirisasi Nikel vs. Kerusakan Lingkungan

Oleh. Ariatul Fatimah, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Raja Ampat yang terletak di Provinsi Papua Barat dijuluki dengan Taman Laut Dunia karena keindahan bawah laut dengan beragam spesies laut yang sangat indah. Sehingga Raja Ampat sering kali menjadi destinasi wisata, baik domestik maupun luar negeri. Namun, yang viral akhir-akhir ini bukan tentang pesona bawah lautnya, tetapi masalah tambang nikel yang ada di Raja Ampat.

Berdasarkan materi presentasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) April 2024, Papua Barat –termasuk Raja Ampat– memiliki sumber daya logam nikel sekitar 3,84 juta ton, serta cadangan logam nikel 880,56 ribu ton. Sumber daya dan cadangan nikel di  Papua Barat ini merupakan yang terbesar ke-5 secara nasional (databoks.katadata.co.id, 10/6/2025).

Hal ini tentu menjadi daya tarik perusahaan besar untuk melakukan penambangan di sana. Saat ini, meskipun izin dari perusahaan tambang nikel di Raja Ampat dihentikan sementara, sebelumnya telah ada beberapa perusahaan yang mempunyai izin usaha pertambangan (IUP), yaitu PT Gag Nikel, PT Kawai Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dan PT Nurham. Pencabutan izin ini setelah ada laporan dan viralnya fakta yang menunjukkan kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat penambangan nikel serta banyaknya tuntutan masyarakat untuk menghentikan tambang nikel di sana.

Tambang yang Melanggar UU

Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk tambang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, di sana disebutkan bahwa kawasan pesisir dan pulau kecil prioritasnya untuk konservasi, penelitian, pariwisata, dan perikanan, sedangkan aktivitas penambangan di kawasan ini dilarang jika bisa menyebabkan kerusakan lingkungan atau sosial. Selain itu juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.

Penambangan nikel yang terjadi di Raja Ampat diduga kuat telah melanggar UU dan Putusan MK tersebut, sehingga beberapa kalangan mendesak pemerintah untuk mencabut izin dan menghentikan aktivitas pertambangan di wilayah tersebut, karena terdapat kerusakan lingkungan seperti deforestasi yang menyebabkan hilangnya habitat alami beberapa spesies, sedimentasi yang mencemari air laut sehingga mengancam biota laut dan rusaknya terumbu karang. Dampak lain yang juga berbahaya adalah munculnya penyakit pada masyarakat akibat kontaminasi limbah tambang di perairan. Maka seharusnya hal tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menghentikan izin penambangan di sana. Bukan hanya sementara, tetapi bersifat tetap, sebab dampak yang ditimbulkan terhadap kerusakan ini tidak bisa dengan cepat untuk dipulihkan kembali.

Tambang: untuk Siapa?

Kekayaan SDA yang melimpah di Indonesia -termasuk Raja Ampat-, membuat para investor berusaha untuk ‘menguasai’ dengan dalih investasi yang ditanam akan membantu kesejahteraan masyarakat dan ini tentu atas restu pemerintah. Bahkan di setiap pergantian kepemimpinan maka upaya untuk menarik para investor masuk ke negeri ini selalu menjadi program andalan. Tak heran jika kemudian negeri ini hampir semuanya dikuasai oleh para investor sebagai pemilik modal.

Misalnya pada kasus tambang nikel di Raja Ampat yang saat ini masih diberikan izin operasional adalah PT Gag yang merupakan anak cabang PT Antam, yang mendapatkan izin operasional sejak 30 November 2017 dan akan berakhir 30 November 2047 telah mencatatkan pendapatan sepanjang 2021 mencapai Rp1,76 triliun, bergerak naik 167,85% dari posisi pendapatan tahun sebelumnya di angka Rp660,53 miliar.

Pendapatan ini tentu akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan nikel terutama sejalan dengan program sepeda atau motor listrik yang digencarkan oleh pemerintah, karena nikel ini menjadi komponen utama untuk baterai sepeda dan motor listrik.

Sementara masyarakat yang menanggung dampak atas tambang ini, mulai dari rusaknya terumbu karang yang menjadi mata pencaharian, deforestasi yang rawan tanah longsor dan banjir, serta limbah dari tambang yang membahayakan kesehatan masyarakat. Maka gembar-gembor hilirisasi tambang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanyalah omong kosong.

Inilah dampak nyata dari penerapan kapitalisme. Dalam sistem ini para pemodal (investor) yang akan menguasai hajat hidup orang banyak, memanfaatkan SDA untuk mereka nikmati sendiri dan menjadikan penguasa sebagai regulator yang akan menjembatani terealisasinya kepentingan mereka dengan jaminan undang-undang.

Pertambangan dalam Islam

Islam sebagai agama rahmatan lil alaamiin, mempunyai seperangkat aturan bagi manusia dalam kehidupannya, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya (Al-Khalik), atau hubungan manusia dengan dirinya sendiri, tetapi juga mengatur hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya. Hal ini tampak dalam adanya aturan Islam dalam politik, ekonomi, sosial, dan aspek kehidupan lainnya.

Sumber daya alam yang dikaruniakan Allah Swt. untuk kehidupan manusia tentu boleh untuk dimanfaatkan. Namun butuh pengelolaan dan pengaturan agar bermanfaat bagi manusia tanpa merusak lingkungan atau ekosistem. Dalam Islam, terkait dengan SDA terutama tambang dengan jumlah deposit yang besar, maka ini menjadi kepemilikan umum (milik kaum muslimin) yang harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Tidak boleh diberikan kepada individu apalagi swasta asing.

Dalam kitab Nidzamul Iqtishodi karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, disebutkan bahwa hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Sedangkan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat, misalnya subsidi untuk kebutuhan primer masyarakat, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Hal ini merujuk pada sebuah hadis dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal r.a. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Islam pun juga mengatur ketika negara melakukan aktivitas pertambangan dengan memperhatikan dampaknya agar tidak merusak lingkungan, sehingga tidak akan ada penggundulan hutan secara besar-besaran (deforestasi), pembuangan limbah yang berbahaya yang membahayakan masyarakat. Karena pengelolaan SDA tidak semata-mata untuk mendapatkan keuntungan, tetapi kemaslahatan bagi masyarakat.

Hal tersebut akan bisa terwujud ketika Islam diterapkan secara kafah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang akan senantiasa tunduk terhadap semua aturan yang berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya, bukan hawa nafsu manusia. Khalifah sebagai pemimpin akan membuat kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan para investor, terlebih investor asing. Ketika khalifah menyimpang pun, sistem Islam memiliki mekanisme yang memiliki kewenangan untuk mengingatkan khalifah agar kembali tunduk pada syariat.

Dengan demikian SDA yang melimpah akan mampu menyejahterakan rakyat secara keseluruhan tanpa merusak lingkungan jika pengelolaannya didasarkan pada syariat, yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). [Ni]

Baca juga:

0 Comments: