Kegagalan Kapitalisme Atasi Korupsi Impor Minyak Mentah Pertamina
Oleh. Siti Fatima
(Kontributor SSCQMedia.Com, Mahasiswa, Aktivis Dakwah)
SSCQMedia.Com—Kasus impor minyak mentah yang menyeret Pertamina dalam pusaran dugaan korupsi kembali menjadi perhatian publik. Dalam laporan yang dirilis oleh DetikFinance, Pertamina memberikan penjelasan terkait permasalahan ini. Bahwa, kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023 telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun (finance.detik.com, 25/2/2025).
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memegang peran strategis dalam sektor energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya energi nasional. Minimnya transparansi dalam pengelolaan sektor energi menjadi salah satu alasan mengapa praktik ini bisa berlangsung lama sebelum akhirnya diketahui publik.
Proses impor minyak yang melibatkan berbagai kontrak dengan pihak luar negeri sering kali dilakukan tanpa pengawasan ketat, sehingga memberikan peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan kecurangan. Selain itu, adanya kepentingan politik dan ekonomi juga berkontribusi terhadap lambatnya pengungkapan kasus ini.
Dalam penjelasannya pula, Pertamina menyatakan bahwa pihaknya telah beroperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan akan menghormati proses hukum yang berjalan. Kendati demikian, fakta bahwa kasus ini sampai menyeret perusahaan energi terbesar di Indonesia menunjukkan bahwa sistem yang diterapkan hari ini tidak mampu memberikan solusi jitu untuk mencegah munculnya benih-benih korupsi.
Kasus-kasus semacam ini merupakan sebuah hal yang niscaya selama sistem kapitalisme masih diterapkan, artinya celah bagi praktik korupsi senantiasa tetap terbuka lebar. Hal ini turut semakin memperjelas bahwa sistem kapitalisme dan pemerintahan yang tidak adil adalah akar permasalahan yang memungkinkan praktik korupsi terus menjamur.
Dalam sistem kapitalisme, bisnis dan politik saling berkaitan erat, di mana kasus-kasus besar seperti ini sering kali baru muncul ketika ada pergeseran kepentingan dalam lingkaran elite. Faktor lain yang turut berperan adalah lemahnya sistem pengawasan serta birokrasi yang kompleks, yang membuat penyimpangan sulit dideteksi sejak awal. Bahkan ketika kasus terungkap, pelaku utama sering kali sulit dijerat karena adanya aturan yang memungkinkan mereka lolos dari tanggung jawab.
Korupsi dalam sektor energi bukanlah kasus pertama yang terjadi di bawah sistem kapitalisme. Kapitalisme telah menciptakan tatanan ekonomi dan politik yang memungkinkan korporasi dan pejabat untuk berkolusi demi kepentingan pribadi. Privatisasi sektor strategis dan minimnya kontrol terhadap pengelolaan sumber daya alam semakin memperburuk keadaan.
Dalam kapitalisme, individu didorong untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memedulikan dampaknya terhadap masyarakat. Sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan telah menjadikan sektor energi sebagai ladang bagi segelintir elite untuk memperkaya diri. Dalam sistem ini, kebijakan yang menguntungkan kepentingan tertentu lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam sistem pemerintahan yang berkeadilan, yakni Islam, menawarkan solusi fundamental dalam menyelesaikan segala permasalahan, yaitu dengan menerapkan sistem pemerintahan yang adil dan transparan. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum syariat. Korupsi tidak akan dibiarkan berkembang karena setiap pejabat dipilih berdasarkan amanah dan ketakwaan, bukan karena kepentingan politik atau ekonomi pribadi.
Sumber daya alam dalam Islam merupakan milik umum yang tidak boleh diprivatisasi atau dikuasai oleh segelintir elite, sehingga negara wajib mengelolanya dengan adil dan mendistribusikannya untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, sistem pengawasan dalam Islam sangat ketat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, mencatat kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjabat untuk memastikan tidak ada praktik korupsi. Jika ditemukan ketidakwajaran dalam kekayaan pejabat, maka harta tersebut akan disita dan dikembalikan kepada rakyat. Islam juga menetapkan hukuman tegas bagi pelaku korupsi agar memberikan efek jera, termasuk penyitaan harta dan hukuman fisik sesuai dengan ketentuan syariat.
Kasus impor minyak mentah Pertamina yang tersangkut korupsi ini adalah bukti nyata bahwa sistem kapitalisme telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Selama sistem ini masih diterapkan, kasus serupa akan terus berulang dan merugikan negara dalam jumlah besar. Satu-satunya solusi nyata adalah dengan meninggalkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam di segala lini kehidupan, di bawah naungan sistem Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, yang akan menerapkan hukum syariat secara kafah.
Dengan sistem ini, keadilan dalam ekonomi dan politik akan terwujud, sumber daya alam akan dikelola untuk kemaslahatan rakyat, dan praktik korupsi dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. Saatnya umat Islam kembali kepada sistem Islam yang telah terbukti mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Dengan penerapan hukum syariah secara kafah di bawah naungan Khilafah Islamiah, maka kemakmuran bagi seluruh rakyat akan menjadi kenyataan, bukan sekadar harapan kosong.
Wallahualam. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: